
KOTAMOBAGU– Penerapan adat Mongondow di Kotamobagu saat ini menjadi perhatian serius Pemerintah Kota (Pemkot). Banyaknya perbedaan dalam praktik yang dijalankan lembaga adat, aliansi yang mengatasnamakan adat Mongondow, serta masyarakat umum, membuat bingung banyak kalangan. Pemkot ingin ada penyeragaman dan harus sesuai aslinya.
Walikota Tatong Bara dalam dialog kebudayaan digelar Dishubbudparkominfo Kotamobagu mengatakan, perbedaan penerapan adat Mongondow membuat pemerintah dan seluruh lembaga adat harus membuat satu rujukan. Intinya apa yang dilakukan para leluhur daerah ini, itu yang digunakan dan dilestarikan. Tidak boleh diubah- ubah.
“Kita samakan persepsi. Kita kembalikan semua ke aslinya. Penerapan segala sesuatu berkaitan dengan adat tidak boleh beda- beda. Misalnya dalam penggunaan pakaian adat maupun pemberian gelar adat bagi siapapun, harus jelas. Tidak boleh sembarangan. Kita akan atur dalam peraturan daerah (perda),” kata Tatong saat membuka dialog kebudayaan yang digelar Dishubudparkominfo, di Restoran Lembah Bening, Rabu (21/12).
Tatong mengungkapkan, jika semua urusan adat sudah diatur dalam perda dan dikembalikan pada aslinya, maka ke depan tidak ada lagi pemberian gelar adat kepada pejabat atau orang tertentu dengan cara asal- asalan. “Bukan lagi karena keinginan seseorang atau kelompok lalu dapat gelar adat, tetapi ada mekanisme. Contoh penghargaan yang diberikan AMABOM kepada gubernur waktu itu. Apakah saya yang tidak paham mekanismenya atau AMABOM? Apakah yang berhak memberikan pemerintah atau AMABOM?. Karena itu, ini semua harus kita atur dalam satu persepsi,” ungkapnya.
Dalam kegiatan ini hadir sebagai narasumber Sekretaris Kota (Sekkot) Tahlis Gallang, Pemerhati Adat Bolmong Chairun Mokoginta, dan Penata Rias Imma Hamza. Pesertnya, seluruh camat, lurah dan sangadi, lembaga adat, dan piñata rias se-Kotamobagu. (rez)