OLEH: TYO MOKOAGOW
Apakah otoritas memenjarakan atau membebaskan kita? Apakah otoritas untuk penguasa atau mereka yang dikuasai?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nakal menyeruak dari balik bilik dada kita ketika memasuki wacana filsafat politik. Secara etimologis, otoritas berasal dari bahasa latin yaitu auctor atau auctoritas, yang secara formal didefinisikan sebagai kekuasaan atau hak untuk memberi perintah, mengambil keputusan, dan memaksakan kepatuhan. Yang menyandang otoritas itu adalah individu atau organisasi yang memiliki kuasa secara partikular di bidang politik. Tokoh-tokohnya adalah Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, dan John Locke. Mereka punya pandangan serupa soal otoritas, tapi berbeda dalam fungsi dan bentuk.
Niccolo Machiavelli dikenal dengan karya Il Principle, Sang Pangeran, pada abad 16 sebagai hadiah untuk Medici penguasa Republik Florence saat itu. Berisi 26 bab dengan empat tema besar: jenis-jenis pemerintahan, bentuk-bentuk militer, karakter penguasa, dan situasi politik Italia serta rekomendasi untuk Medici agar bisa menjalankan kekuasaan dengan baik.
Jenis-jenis pemerintahan ada empat. Pertama hereditary principalities, di mana kekuasaan ikut diwariskan lewat darah garis keturunan. Mixed principalities, di mana kekuasaan didapat dengan menguasai wilayah lain lalu menjadikannya sebagai subordinat. New principalities, di mana kekuasaan didapat dengan cara-cara baru entah lewat kriminal atau suara publik. Ecclesiastical principalities, semisal kekuasaan yang diperoleh lewat gereja atau institusi keagamaan lain. Militer juga dibagi empat: tentara bayaran, tentara yang dipinjam dari negara lain, tentara dari wilayah sendiri, atau gabungan dari tiga hal tersebut.
Baca Juga: Para Adiluhung Juga Hidup Minimalis
Penguasa ideal menurut Machiavelli adalah yang bersikap pelit daripada dermawan, kejam daripada pengasih, ingkar janji daripada menjaga janji tapi kehilangan tujuan. Namun seorang pangeran juga mesti mampu membuat dirinya tidak dibenci masyarakat sebab kehendak baik rakyat jauh lebih kuat dari benteng batu sekalipun. Pemimpin juga mesti bisa melahirkan proyek besar untuk menjaga reputasinya. Dan sebagai pangeran yang bijak, memilih penasihat yang tepat merupakan prasyarat mutlak daripada memilih mereka yang hanya membebek.
Machiavelli melihat banyak kekuasaan besar yang luluh lantak karena tidak melaksanakan nasihat-nasihat yang ditebarnya dalam Il Principle. Dengan mata bak psikolog, ia melihat manusia bisa dikendalikan keberuntungan dan kehendak bebas. Dan karena sang pangeran memiliki kehendak bebas, maka ia mesti bisa mengontrol kehendak masyarakat dengan kehendaknya lewat deskripsi pemimpin ideal yang dijabarkan Machiavelli sebelumnya.
Dalam hal kondisi alamiah manusia, Hobbes dan John Locke berseberangan. Hobbes menolak perbedaan kualitas antara manusia dan hewan, dua spesies ini punya kesamaan, yakni saling memakan. Locke berangkat dari asumsi tabula rasa, bahwa manusia lahir bak kertas kosong yang pada gilirannya diisi oleh pengalaman.
Hobbes terkenal dengan De Cive & Leviathan. Ia menolak Aristoteles yang berkata kalau kodrat manusia adalah hidup di Polis atau kota. Hobbes mengembalikan kodrat manusia sehingga setara dengan hewan, di mana kita pada dasarnya hidup di alam liar dan terbebas dari skema politik tertentu. Manusia pada dasarnya bersifat kompetitif, tidak adil, dan mudah untuk dikuasai. Tidak ada relasi yang menopang hubungan antar manusia selain relasi kepentingan semata.
Karena itu, dibutuhkan sosok raksasa yang mampu mengendalikan dan menguasai masyarakat. Di sini–sebagaimana filsuf lain yang suka meminjam mitologi Yunani untuk menambah daya magis filsafatnya–Hobbes memakai Leviathan, monster raksasa dalam dongeng Yunani silam. Leviathan itu dibutuhkan untuk mengontrol manusia yang pada dasarnya saling membinasakan dan saling makan bak serigala buas. Dalam arti lain, Leviathan dibutuhkan untuk melindungi individu dari individu lain. Hanya dengan demikian kedamaian dan ketertiban manusia bisa diraih.
Baca Juga: Kecemburuan Dalam Biologi Evolusioner
Leviathan sendiri merupakan perwujudan kekuasaan absolut untuk mengatur masyarakat. Leviathan dibagi menjadi empat: tentang kondisi alamiah manusia, penjelasan tentang terbentuknya masyarakat, kesamaan antara gereja dan Leviathan, kritik karena gereja bersikap keliru dan mesti meniru Leviathan untuk berkuasa. Dalam teori kontrak sosial, dianggap kalau masyarakat melakukan perjanjian dengan raja untuk melindungi setiap individu agar tidak dirugikan oleh individu lain yang saling memakan, konsekuensinya penguasa mesti memiliki kekuasaan mutlak atas masyarakatnya.
John Locke tidak sependapat dengan Hobbes yang mengasumsikan manusia pada dasarnya jahat. Manusia pada dasarnya baik ujar Locke. Kontrak sosial sendiri diperlukan karena itulah perwujudan dari kesadaran akan keterbatasan kebebasannya. Locke menumpahkan isi pikirannya dalam An Essay Concerning Human Understanding & Two Treatise of Government. Locke menilai setiap individu punya hak yang sama dan merupakan hal penting untuk melindungi hak tersebut. Demikianlah konsep hak milik pribadi khas demokrasi liberal menemukan pondasinya. Karena bebas merupakan kondisi alamiah manusia, maka kekuasaan mesti bekerja untuk menjaga kebebasan tersebut. Bila otoritas menurut Hobbes diperlukan demi kedamaian dan ketertiban, maka menurut Locke, otoritas diperlukan agar individu tidak khawatir menyelenggarakan kebebasannya dan kebebasan tersebut tidak membahayakan kebebasan individu lain.(*)