Oleh : Tyo Mokoagow
Kecemburuan adalah sesuatu yang paradoks dalam diri kita. Santo Agustine berkata, “ia yang tak cemburu adalah ia yang tak punya rasa mencintai.” Kita juga kenal O. J. Simpson: “Katakanlah saya melakukan kejahatan ini [membunuh Nicole Brown Simpson]. Bahkan bila saya melakukannya, saya pasti akan melakukannya karena saya teramat menyayanginya, bukan?”
Perkara ini menuntun David Buss, seorang biolog evolusioner menyoal, kenapa kiranya emosi yang terkoneksi dengan rasa cinta dapat membimbing kita menuju kekerasan?
Terdapat banyak eksplanasi untuk kecemburuan, semisal neurosis, kerusakan karakter, atau patologi. Dalam beberapa hal, kecemburuan kronis bisa saja kita sebut sebagai patologi.
Meskipun begitu, kecemburuan ikut berevolusi dalam diri manusia. Memang dalam biologi evolusioner, tidak ada modul mental yang tidak berevolusi tanpa alasan. Salah satu fungsi cemburu adalah mencegah ketidaksetiaan terjadi sebab ketidaksetiaan tersembunyi dalam kerahasiaan besar—orang-orang tentu saja tidak akan pamer di media sosial kalau mereka punya kekasih gelap. Mencegah ditinggalkan pasangan seksual potensial akibat kekenesan yang tak perlu. Sebagai sinyal akan komitmen yang kuat. Dan meningkatkan kepastian garis keturunan—perempuan sudah pasti merupkan ibu seratus persen dari sang anak, tapi di zaman dahulu (sebelum ada teknologi mumpuni), apakah jaminan bahwa anak tersebut adalah anak sang bapak?
Kecemburuan dalam bingkai perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk kita perhatikan. Di sini, Buss mengajak kita membikin eksperimen pikiran. Bayangkan pasangan romantis Anda berselingkuh entah secara seksual atau emosional. Anda lantas marah. Tapi marah kenapa? Karena aspek emosional ataukah seksual? Dalam hal ini, laki-laki secara fisiologi lebih stress apabila diselingkuhi secara seksual karena itu adalah petunjuk atas ketidakpastian garis keturunan, dan perempuan lebih stress karena diselingkuhi secara emosional karena itu adalah petunjuk atas hilangnya komitmen dan sumber daya jangka panjang. Hal ini bisa kita ketahui dari aktivitas elektrodermal, tekanan darah, derap jantung, dan lewat EMG.
Namun dalam kecemburuan kronis yang patologis, ia bisa saja menjelma kekerasan. Fungsi dari kekerasan terhadap partner, secara biologis, diharap dapat mencegah partner dari perselingkuhan, atau meninggalkannya, atau merusak rasa percaya diri pasangan.
David Buss lantas menyertakan alarm tanda bahaya untuk mengenali hal-hal demikian: ia tak lagi ingin Anda bicara dengan seseorang berjenis kelamin berbeda, membatasi kontak Anda dengan keluarga & teman-teman Anda, mencoba mencari tahu di mana dan dengan siapa Anda setiap waktu, dan mengusik rasa percaya Anda terhadap diri Anda sendiri. Apabila kecemburuan—yang di awal teks ini, paradoksnya, adalah juga tanda cinta—menjurus ke hal-hal seperti di belakang, maka Anda harus mulai memberi batas yang tegas dalam hubungan Anda.
Kecemburuan memang paradoks. Ia adalah penanda cinta, yang terkadang distimulus secara strategis untuk meningkatkan rasa kepemilikan satu sama lain. Ia juga berfungsi melindungi hubungan dari ketidaksetiaan dan pencampakkan. Cemburu secara psikologis memang dikonfigurasi secara berbeda dalam laki-laki & perempuan untuk memecahkan masalah adaptif biologi kita. Namun juga, cemburu bisa menjelma gairah berbahaya yang dapat menjurus ke kekerasan.(*)