OLEH: TYO MOKOAGOW
Gaya hidup minimalisme yang dibicarakan Raditya Dika membuat banyak orang terpantik. Saya salah satunya. Meskipun sebenarnya gaya hidup itu sudah sering saya dengar. Kakak saya, Fikri, tampaknya sudah lama mempraktikkannya. Saya tidak tahu apakah dia mengetahui trend gaya hidup begitu. Dia hanya bilang, senang bekerja sembari mendengarkan ceramah-ceramah TED Talks.
Suatu ketika ia terkesima dengan gaya hidup seorang Thailand yang meninggalkan pekerjaannya dari kesumpekan masyarakat urban ke pedesaan terkucil tempat kedamaian berbaring. Di sana, ia tak pernah kekurangan satu pun. Justru ketika kita melepas berbagai keruwetan hidup serta tetek bengek yang sejatinya tidak pernah berhasil membuat kebahagiaan kita bertahan lama, saat itulah kebahagiaan datang bersamaan dengan rasa damai yang akrab.
Fikri, kakak saya, hanya memiliki dua setelan baju dan jumlah celana sekenanya. Sisanya jaket dan beberapa barang yang sedikit jumlahnya. Kamarnya di Bandung dahulu begitu lengang. Tidak banyak barang berceceran seperti di kamar saya. Dia memang tak suka dengan gaya hidup konsumstif. Walaupun terkadang dia mengaku, sering kalap membeli barang-barang tak berguna juga.
“Coba lihat ini,” tunjuk Fikri pada saya, mengarah pada gantungan kunci miniatur bola dragon ball. “Setelah membeli ini, baru saya sadar betapa tidak berguna barang ini.” imbuhnya.
Di vlog Raditya Dika itu saya temukan satu rekomendasi film menarik. Judulnya Minimalism. Di sana terdapat dua orang sahabat yang bertualang menyebarkan gagasan mereka ke seantero negeri. Rumah mereka begitu sederhana. Tampilan mereka begitu sederhana. Salah satu pemeran utama itu, berangkat kerja hanya menggunakan skateboard. Sederhana sekali.
Terasa kucuran ilham yang mengalir di kepala saya. Saya menonton film itu di pagi hari. Setelahnya saya bermeditasi. Dan membuang barang-barang yang menurut saya tidak akan berguna. Lemari tinggi dan lebar di kamar saya diganti dengan lemari yang lebih pendek dan tidak makan tempat. Radit sendiri punya tolak ukur menentukan mana yang berguna dan tidak. Dia bilang, kalau barang itu sudah tidak dipakai selama 90 hari, buang saja.
Gaya hidup ini sebenarnya sudah sangat popular di negeri Matahari Terbit. Konon di Jepang sana. Rata-rata warganya rajin menabung dan tidak mau mengeluarkan uang banyak-banyak untuk keperluan sehari-hari. Ruang rumah mereka juga lengang. Tidak perlu banyak barang. Memiliki banyak barang bukan cara terbaik untuk memberi nilai pada hidup kita.
Saya pernah mendiskusikan gaya hidup begini pada seorang kawan yang lagi melaksanakan khuruj, berdakwah dari rumah ke rumah, membangun solidaritas ukhuwah Islamiyah. Dengan senyum kecil terulas di pipinya, dia berkata, “Di Islam ini, semuanya sudah ada. Sudah lengkap,” responnya seraya menyandarkan bahu. “Nabi itu, meskipun ia pedagang sukses di zamannya, dia selalu tinggal di rumah sederhana, seringkali kehabisan makanan sehari-hari, dan tidak tidur di kasur yang nyaman. Nabi Muhammad lebih senang tidur di pangkuan Aisyah.”
Saya pikIr benar juga. Meskipun terdengar agak egois dan narsis mengembalikan semuanya ke gaya hidup Islam. Saya memang tidak terlalu suka dengan cara berpikir orang yang senang mengglorifikasi agama mereka sendiri, mengenyangkan egosentris identitas mereka seola-olah bumi berputar dan agama mereka adalah porosnya. Saya pun Islam. Tapi melakoni Islam semacam begitu entah kenapa membikin saya tidak rendah hati dan rendah diri, saya takut pongah.
Tapi setelah dipikir-pikir, gaya hidup demikian bukan hanya milik nabi dari golongan agama saya. Sidharta konon keluar dari baluartinya yang mewah dan megah, keluar dari zona nyaman yang sebenarnya jebakan paling berbahaya, melengok ke dunia luar penuh penderitaan dan kesengsaraan; meski lahir dari keluarga bergelimang kekayaan, dia memilih menggelandang di jalanan yang penuh orang sakit dan miskin. Hingga ia memeroleh pencerahan di pohon Bodi.
Begitu pula Yesus Kristus. Ia lebih memilih berkelana dengan sederhana bersama murid-muridnya terkasih, menjauhi pengaruh politik yang sebenarnya bisa digunakan untuk mendulang kesejahteraan pribadi. Konfusius pun, meski mantan menteri di pemerintahan Cina, lebih senang bertualang dan mengajar bersama murid-muridnya dalam keadaan papa.
Praktik-praktik agama juga saya lihat-lihat adalah bentuk minimalisme, hanya saja dibubuhi dengan bahasa ritual saja. Puasa, adalah minimalisir nafsu untuk makan; meditasi, minimalisir distraksi pikiran; shalat, minimalisir kegaduhan dalam dada kita; zakat, minimalisir harta yang terlalu terkonsentrasi pada individu; dan sebagainya.
Setiap pemimpin adiluhung memang pelakon gaya hidup minimalisme. Apakah karena mereka orang suci sehingga mereka memilih gaya hidup seperti itu? Ataukah karena mereka memilih hidup minimalis sehingga mereka menemukan kesucian diri? Tanya itu tampaknya tidak terlalu penting. Suci atau berlumur dosa, gaya hidup itu memang bagus.(*)