Oleh : Tyo Mokoagow
Meledaknya berita corona telah menguak satu bakat terpendam masyarakat Indonesia: bakat ber-karlota. “Virus corona tak bisa masuk ke Inobonto, sudah terhalang virus karlota,” kata kawan yang kerja di Conch. Entah apa argumentasi ilmiahnya sampai corona bisa mati kutu begitu. Tapi aku tahu betul, lidah manusia Indonesia memang bisa setajam silet.
Karlota sendiri, secara etimologi berasal dari “Maria Cinta yang Hilang”, telenovela tahun 90-an. Karlota diadopsi dari nama tokoh pembantu, Charlotta, yang gemar menguping dan bergosip dengan cara menyebalkan tapi bikin kangen. Sosok Charlotta memang yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya, ia ikonik, seolah ia episentrum film serial itu. Sulawesi Utara kemudian menyerapnya sebagai kata kerja untuk menghormati dedikasi Charlotta.
Elaine Lui melacak genealogi gosip atau karlota bahkan sampai ke peradaban Mesir sekitar 5.000 tahun lalu. Lui menemukan fakta bahwa hierorglif yang tersitat di prasasti makam para raja ternyata punya fungsi yang sama dengan tabloid: untuk menyebarkan cerita. Manusia gua dan nenek moyang pemburu-pengumpul kita pun menggunakan karlota buat mencari teman, menghindari musuh, dan melacak lokasi yang penuh makanan, yang tepat buat berburu, serta nyaman untuk ditinggali. Dalam kompetisi hukum rimba, gorilla penguasa (alpha male) bahkan menggunakan karlota untuk menyeleksi calon lawan yang potensial meruntuhkan status quonya.
Dengan demikian: karlota berumur sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
Persoalanya, ujar Elaine Lui, dalam diskursus sosiologi gosip, kita tidak bisa mengonsumsi karlota tanpa mengalami bias kognitif. Bias itu bisa bersifat konfirmasi (mengambil informasi yang menguatkan keyakinan kita meskipun itu info palsu) pun bisa diskonfirmasi (membuang informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita meskipun informasi itu secara saintifik valid). Inilah alasan psikologis kenapa para pelaku karlota dibebani konotasi negatif berlebihan; pelaku karlota menjadi penyambung lidah disinformasi atau keyakinan palsu.
Karlota bukan domain yang didominasi perempuan. Laki-laki pun ber-karlota dengan intensi yang sama dengan perempuan, yang membedakan hanya topiknya saja. Laki-laki lebih senang karlota tentang olahraga, politik, dan seks. Sedangkan topik karlota perempuan berputar di sekitar kehidupan privat orang-orang. Semakin intim semakin pribadi informasi yang diperoleh perempuan, semakin ia merasa punya daya tawar tinggi di lingkaran sosialnya.
Karlota menjadi berbahaya dan destruktif di era kecergasan informasi ini. Lalu lintas informasi begitu cepat dan setiap orang terlalu lambat memproses segalanya, konsekuensinya, bakal banyak informasi tak lengkap yang masuk ke brangkas memori kita. Dari sana, disinformasi, hoaks, dan propaganda Goebbels meraja rela. Kita kemudian menjuluki diri sebagai spesies post-truth. Fitrah sebagai pelaku karlota kemudian bekerja dengan simultan, menyebabkan “berita-berita yang tak terkonfirmasi” menyebar lebih luas, lebih cepat, dan lebih intens. Bila ada satu berhala yang bisa menjadi perwujudan citra primordial kita di era begini, barangkali Lambe Turah adalah pemenangnya.
Prestasi karlota bangsa kita bisa ditengok dari kompilasi hoaks berkaitan dengan wabah corona yang sudah mencapai angka 127 data. Salah satu hoaks yang berkesan bagi saya adalah penyembuhan virus corona lewat rukyah oleh seorang profesor. Saya tentu percaya itu hoaks, tapi saya juga pengen orang itu pergi Wuhan untuk merukyah para pasien di sana secara langsung supaya dia bisa tabayyun. (Ups, saya baru saja ber-karlota.)
Wabah corona memang telah membangkitkan ketakutan terbesar dalam diri kita. Sebagai epidemi, corona dapat mengusik sistem kekebalan biologis kita, tetapi karlota yang destruktif telah membinasakan sistem kekebalan mental kita dari dalam; nalar kita telah lebih dahulu dimatikan.
Beberapa hari lalu ketika lagi ramai-ramainya corona, saya lihat kawan saya di FB menggunakan isu tersebut buat mempertajam sentimen anti-Cina. Status FB itu mengundang komentar (baca: karlota) orang-orang yang sepakat dan menyarankan dibikin demonstrasi untuk mengusir etnis Cina dari tanah Totabuan. Saya tidak tahu gawai apa yang mereka punya, tapi bila mereka mengetik komentar itu dengan gawai ber-merk Xiaomi, Huawei, Oppo, atau Vivo, yang notabene HP dari Cina, saya diam-diam akan berdoa semoga mereka termasuk golongan yang ikut profesor tadi untuk merukyah pasien di Wuhan.
- Penulis saat ini aktif sebagai mahasiswa dan pegiat di Komunitas Literasik Totabuan