Oleh: Tyo Mokoagow
Di dapur kantor satu universitas Britania, selama bertahun-tahun orang-orang di dalamnya membayar teh atau kopi yang mereka nikmati sepanjang hari dengan memasukkan sumbangan uang ke “kotak kejujuran”. Di samping kotak itu, dipasang lis harga. Suatu hari, di samping daftar harga dipasang poster. Poster bunga dan mata digonta-ganti selama sepuluh minggu. Setelah kehadiran poster tersebut, sumbangan di kotak kejujuran meningkat signifikan.
Pada minggu pertama percobaan, dua mata membelalak menatap para peminum kopi dan teh yang sumbangannya rata-rata 70 pence per liter. Minggu kedua, poster diganti dengan gambar bunga lalu sumbangan turun rata-rata 15 pence. Kecondongan itu berlanjut. Setiap poster mata sumbangannya naik dan poster bunga sumbangan turun. Rata-rata sumbangan pada “minggu mata” naik sekitar tiga kali lipat daripada “minggu bunga”.
Baca Juga: Perihal Memoles Pesona Negeri Arunika, Sam Tidak Sedang Bercanda!
Daniel Kahneman mengomentari bahwa penggambaran pengawasan lewat poster mata dapat mendorong orang berperilaku lebih baik. Efek itu juga terjadi tanpa disadari. Dalam filsafat, efek pengawasan dikenal dengan panoptikon. Dan kata “pan” yang artinya menyeluruh dan “optik” yang bermakna mata. Panoptikon ialah sistem pengawasan ala Jeremy Bentham, dengan membangun menara pengawas di tengah koridor penjara agar narapidana terdorong lebih patuh di dalamnya. Gagasan panoptikon itu diadopsi Foucault sebagai mekanisme mendisiplinkan tubuh manusia.
Dalam kesusasteraan dunia, panoptikon itu menjelma sebagai mata raksasa Big Brother dalam novel distopia George Orwell, 1984. Di dunia modern, ia menjelma sebagai CCTV yang memantau sekali waktu mengukuhkan kepatuhan mereka yang merasa terawasi. Namun di antara semua jenis panoptikon, agama merupakan yang paling canggih. Doktrin tuhan yang mahamelihat dapat mendisiplinkan umatnya untuk tidak berbuat jahat kendatipun ia tak akan ketahuan ketika melakukan kejahatan. Dalam psikoanalisa, panoptikon bersarang dalam super-ego, yang apabila kita berbuat jahat tanpa diketahui otoritas negara, ketersiksaan dan hukuman pun merisak nurani kita yang selalu diawasi mata batin sendiri (tengoklah penderitaan Roskalnikov dalam Crime & Punishment Fyodor Dostoyevski).
Emmanuel Levinas memang mengakui kalau mata merupakan organ yang agresif. Sartre menyambut gagasan itu dalam eksistensialismenya. Mata merupakan sumber ketidakbebasan manusia. Pernah Sartre berada di suatu taman tanpa seorang pun di sana, lalu kehadiran kumbang pada satu kembang membuat mata Sartre tersandera, seluruh subjektivitasnya pun terserap pada objek di tempat itu, menghentak kesadaran Sartre yang seketika berubah posisi dari subjek menjadi objek. Di bawah sorot mata tatapan orang lain, kebebasan diserap dan diobjektivikasi. Demikianlah Sartre membikin No Exit, neraka yang di isi oleh beberapa orang yang saling menyiksa satu sama lain hanya lewat tatapan mata yang agresif itu.
Mata pernah dianggap sebagai panca indera paling superior. Adalah Leonardo da Vinci yang berkata itu. Apabila panca indera punya hierarki, mata menempati pucuknya dan indera lain berada di bawah subordinasi mata. Tak heran Da Vinci menyatakan lukisan sebagai karya seni paling luhung di atas musik dan kuliner.
Dalam pepatah-pepatah yang bertebaran juga kerap kita dapati peribahasa (saya parafrasekan) : “apa yang kamu lihat adalah fakta dan apa yang kamu dengar adalah fiksi.” Seolah hanya lewat matalah kebenaran bisa menyingkapkan dirinya, dan di hadapan indera lain, kebenaran tersembunyi dalam kabut gelap ketidaktahuan. Padahal menurut Oliver Leaman, seseorang tidak melihat dengan mata, melainkan dengan otak. Ia pernah menangani persoalan medis di mana perempuan tua yang sudah lama buta kerap bisa melihat anak-anak berkejaran di tangga rumahnya. Penglihatan pasien tersebut tidak bersifat fisiologis lewat mata, melainkan bersifat neurologis. Ketika mata telah lama buta, ilusi bisa membuat otak kita melihat sama baiknya dengan memakai mata.(*)
Penulis saat ini aktif di komunitas Literasik Totabuan dan Pustakawan di Rumah Baca