Indonesia sudah merdeka dari penjajahan sejak 75 tahun lalu. Dihitung sejak proklamasi dikumandangkan Bung Karno pada 17 Agustus 1945 dan sampai kini terus menerus diperingati dan dirayakan.
Namun bagi mayoritas warga Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), kemerdekaan masih harus terus mereka perjuangkan. Kemerdekaan untuk bisa menguasai dan menikmati olahan emas di lokasi tambang yang selama ini dikategorikan lokasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) oleh pemerintah dan kepolisian.
Rabu (26/8/2020), masih dalam suasana bulan kemerdekaan Indonesia, saya mendatangi dua lokasi tambang emas di Desa Bakan yang selama ini menjadi tempat bertumpu mayoritas masyarakat desa itu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapak Gale dan Jalina adalah nama kedua lokasi itu.
Menuju ke sana dibutuhkan stamina dan menguji adrenalin. Lantaran, jika berjalan kaki butuh waktu 1- 1,5 jam. Sedangkan kalau memilih naik sepeda motor bebek yang sudah dimodifikasi seperti trail, waktunya lumayan singkat. Cukup 15 menit. Tetapi medan menanjak, berbatu, dan kita disuguhi jurang curam di kiri dan kanan. Kita tinggal pilih, jalan kaki atau naik sepeda motor.
Saya mengambil pilihan kedua. Saya menguatkan mental untuk bisa melihat langsung situasi dan kondisi lokasi tambang emas yang berdekatan dengan kawasan eksplorasi perusahaan PT J-Resources Bolaang Mongondow (JRBM).
Matahari belum terlalu meninggi, baru sekira pukul 08.00 WITA saat saya berangkat dari Desa Bakan ke lokasi Tapak Gale dan Jalina. Pengemudi sepeda motor trail yang saya tumpangi dengan tarif Rp100 ribu (Normalnya Rp50 ribu) pergi pulang (PP), melaju. Kabut masih tebal saat trail yang saya tumpangi membelah belantara dengan suara meraung dari knalpot racing yang terpasang tepat di bawah telapak kaki saya. Sesekali cuitan burung terdengar.
Tiba di lokasi Tapak Gale dan Jalina, saya langsung mengambil foto. Tampak beberapa warga Bakan yang merupakan penambang tradisional sedang beraktivitas mengumpulkan beberapa barang milik mereka untuk dibawa pulang ke rumah.
Lokasi ini dua hari lalu kembali ditertibkan dan ditutup oleh aparat kepolisian dari Polres Kotamobagu dan Brimob Kompi Inuai. Semua kegiatan penambangan emas di sini dilarang selama izin tidak ada.
Menurut beberapa penambang, penutupan serupa sudah berkali dilakukan di lokasi ini. Tetapi ketika ada kesempatan terutama polisi tak ada lagi, warga akan kembali lagi.
“Hanya di sini kami bisa dapat uang untuk menafkahi istri dan anak di rumah,” ucap salah satu penambang yang sedang melipat terpal robek, sembari mengarahkan telunjuknya ke tanah dia berdiri.
Penambang yang saya jumpai di atas bukit yang kira-kira ratusan meter dari permukaan laut ini, sekira delapan orang. Mereka saat diwawancarai meminta nama tidak dipublikasikan. Mereka khawatir nama mereka muncul di media dan bisa ketahuan aparat masih beraktivitas di lokasi ini meski hanya untuk mengambil barang seperti terpal dan martil.
Di lokasi Tapak Gale dan Jalina yang sebagian besar sudah gersang ini, tampak banyak terpal dan karung robek, kayu bekas tiang tenda masih berdiri. Bak untuk merendam material emas juga banyak berjejer. Ukurannya bervariasi. Tak ada lagi lubang tambang menganga, sudah tertutup bebatuan.
Lokasi Tapak Gale dan Jalina ini memang terkenal karena kadar emasnya di atas 85 persen. Karena itu masyarakat Desa Bakan sejak beberapa tahun terakhir berjuang supaya lokasi ini bisa dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Agar penambang dan polisi tidak lagi main kucing-kucingan.
“Lokasi ini di luar kawasan yang menjadi hak eksplorasi PT J-RBM, tetapi kami tetap terusir. Padahal ini tanah leluhur kami di Desa Bakan,” kata penambang tadi.

Sekira pukul 09.10 WITA saya turun kembali ke desa untuk menemui beberapa narasumber yang sudah janjian untuk wawancara terkait dengan persoalan tambang emas tanpa izin yang terus diperjuangkan masyarakat menjadi WPR, serta beberapa hal yang masih berkaitan dengan persoalan tersebut.
Di Desa Bakan, suasana peringatan kemerdekaan RI masih sangat terasa. Pagar rumah warga dicat merah putih, masih berjejer rapi umbul-umbul merah putih, dan paling utama bendera merah putih masih banyak berdiri di pinggiran jalan depan rumah warga. Desa ini juga tergolong bersih, karena tak ada sampah berserakan di badan atau pinggiran jalan. Apalagi di halaman rumah-rumah warga.
Saya lebih dulu menemui Jun Mokoagow. Dia adalah Ketua Aliansi Masyarakat Desa Bakan yang sudah dua tahun lebih berjuang agar lokasi Tapak Gale dan Jalina dibebaskan untuk masyarakat dan pemerintah menjadikan lokasi itu sebagai WPR.
Jun, selain ketua aliansi, dia juga merupakan penambang tradisional. Dia menjadi penambang sejak tahun 2011 lalu.
Jun lebih dulu menceritakan pengalamannya bertambang. Suka duka menjadi penambang dia ceritakan, termasuk penertiban dan penutupan lokasi Tapak Gale dan Jalina pada 21 Agustus lalu sedikit dia sentil tapi itu tidak akan diulas di sini.
Ayah tiga anak ini mengatakan, menjadi penambang sudah merupakan profesi turun temurun mayoritas masyarakat di desanya. Sudah sejak tahun 1970-an sampai sekarang.
Lokasi tambang emas di Tapak Gale dan Jalina, ungkap dia, mulai heboh dan ramai baru pada tahun 2015 lalu. Ketika itu lokasi Osela, salah satu lokasi tambang di desa itu baru ditutup karena sudah masuk kawasan eksplorasi PT J-RBM.
Jika di kalangan masyarakat secara umum ada anggapan bahwa menjadi penambang sebagai pekerjaan pelarian atau opsi terakhir dalam hidup, Jun menyatakan, tidak demikian dengan masyarakat Desa Bakan.
“Menjadi penambang bagi kami adalah opsi utama. Hasil dari bertambang kami bisa menafkahi keluarga,” ujarnya.

Berjuang agar lokasi Tapak Gale dan Jalina bisa dijadikan WPR sudah dia dan masyarakat, serta Pemerintah Desa Bakan lakukan sejak tahun 2018 lalu. Di bulan kemerdekaan ini, Jun dan masyarakat Desa Bakan menaruh harapan besar agar pemerintah segera mewujudkan WPR di Tapak Gale dan Jalina. Sebuah cita-cita yang mereka perjuangkan cukup lama dan akan terus diperjuangkan kalau belum diwujudkan.
“Di bulan kemerdekaan Republik Indonesia ini kami berkeinginan agar dua lokasi tambang ini dijadikan WPR. Setidaknya kita bisa merdeka di tanah kita sendiri, tidak menjadi tamu di rumah sendiri,” katanya.
Bila WPR tak diwujudkan pemerintah dan aktivitas penambangan tetap akan dilarang, dia mengaku tak tahu lagi mayoritas masyarakat Bakan termasuk dirinya bekerja di mana.
“Tak bisa dipungkiri, mayoritas pekerjaan masyarakat Bakan adalah penambang. Bahkan ada juga yang tadinya tak biasa bekerja sebagai penambang akhirnya alih profesi karena ada di kampungnya sendiri,” ucapnya.
Kata dia, penutupan aktivitas penambangan di Tapak Gale dan Jalina, ternyata tak hanya merugikan penambang. Penjual makanan dan bahan pokok yang berjejer di pinggiran jalan masuk lokasi tambang ikut merugi.
“Selain penambang, di jalan menuju lokasi tambang juga banyak terdapat warung-warung berjualan makanan. Saya sempat mendengar curhatan pemilik tempat makan terkait kondisi ekonomi mereka saat ini. Pendapatan mereka tak lagi seperti biasa. Biasanya pendapatan penjual makanan Rp3- 4 juta per bulan, setelah tambang ditutup tinggal Rp300- 400 ribu saja per bulan. Karena itu tolong suarakan aspirasi kami ini. Banyak orang menggantungkan hidup di lokasi tambang yang ditutup itu,” tandasnya.
Sekitar 300 meter dari rumah Jun Mokoagow, saya jalan kaki menemui Kepala Desa (Sangadi) Bakan, Hasanudin Mokodompit.
Penuturan Hasanudin, di desanya itu terdapat 700 lebih kepala keluarga (KK) dan 70 persen warganya adalah penambang emas. Paling banyak beraktivitas di lokasi Tapak Gale dan Jalina.
“Awalnya warga di sini mayoritas profesinya sebagai petani. Namun kebanyakan mulai beralih profesi menjadi penambang semenjak masa tambang Osela. Namun puncak membludaknya aktivitas pertambangan itu pada tahun 2015. Dan yang bekerja di situ (Tapak Gale dan Jalina) bukan hanya warga Bakan, ada juga orang-orang dari luar daerah,” ungkapnya.
Soal keinginan menjadikan lokasi Tapak Gale dan Jalina dijadikan WPR, pemerintah desa mendukung 100 persen. Jika status lokasi masih ilegal, yang jadi repot, kata Hasanudin, adalah dirinya sebagai sangadi.
“Saya selaku pemerintah di desa ini ibarat buah simalakama. Karena tidak boleh membiarkan masyarakat bertambang, karena dari sisi aturan tidak boleh. Tidak ada izin. Tapi tidak mungkin juga saya larang mengingat sejak dahulu , masyarakat sudah menggantungkan hidup di situ,” katanya.
Hasanudin menerangkan bahwa lokasi tambang di Bakan sudah diusulkan menjadi WPR. Proposalnya sudah ada di Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Desakan agar WPR segera direalisasikan di Tapak Gale dan Jalina, lanjut dia, memuncak setelah beberapa kali masyarakat menggelar unjuk rasa di kantor bupati dan kantor DPRD Bolmong.
Sebagai sangadi, Hasanudin mengakui bahwa lokasi tambang di desanya semua masuk kontrak karya PT J-RBM. Sebagai upaya memenuhi harapan masyarakat, pemerintah desa sudah bertemu dengan pihak perusahaan PT J-RBM agar dilakukan penciutan lahan dan masyarakat diberi kesempatan mendapatkan dan mengelola WPR.
Dia meyakini jika masyarakat Bakan diberi kesempatan mengelola WPR di Tapak Gale dan Jalina serta lokasi lain yang akan diciutkan, ekonomi masyarakatnya akan tumbuh.
“Kalau hanya berharap dari corporate social responsibility (CSR) dari PT J-RBM yang diberikan kepada masyarakat lingkar tambang, tidak akan membantu meningkatkan ekonomi masyarakat. CSR tidak serta merta bisa mensejahterakan masyarakat karena royaltinya dalam bentuk fisik. CSR menurut saya tidak memberikan dampak besar bagi masyarakat Desa Bakan. Sebaik apapun bangunan di Desa Bakan, bukan berarti itu membantu peningkatan ekonomi masyarakat. Memang betul banyak bangunan yang dibangun perusahaan termasuk balai desa, Puskesmas, dan sebagainya. Untuk peningkatan ekonomi masyarakat, masyarakat harus bertambang di lokasi yang legal seperti WPR,” pungkasnya.
Waktu terus bergulir. Jarum jam sudah menunjuk ke pukul 11.00 WITA dan wawancara dengan sangadi ini diakhiri. Di ujung pernyataannya kepada saya, Hasanudin dengan lugas menyampaikan bahwa WPR untuk masyarakat Bakan adalah solusi untuk menjaga keberlangsungan ratusan bahkan ribuan jiwa masyarakatnya, bisa meningkatkan perekonomian desa, serta agar tidak ada lagi PETI di wilayahnya itu.
Perjuangan para penambang emas tradisional di Desa Bakan agar memperoleh ‘kemerdekaan’ untuk bisa menggali, mengolah, dan mendulang emas di tanah mereka sendiri sejatinya adalah sebuah perjuangan mulia. Sangat layak diperjuangkan. Kita semua menunggu, apakah harapan itu bisa mereka peroleh atau selamanya mereka akan menambang secara ilegal di tanah yang diwariskan leluhur mereka. (*)
Penulis: Falen Mokodongan