OPINI– “sesungguhnya suara itu tak bisa diredam, mulut bisa dibungkam, namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku,suara-suara itu tak bisa dipenjarakan”
— Wiji Thukul, Sajak Suara….
“Ada pemukulan terhadap rakyat. Ada intimidasi juga. Saya ditodong pakai pistol…,” ungkap Abner Patras, menyuarakan resahnya pada salah satu situs Online Nasional.
Secuplik pernyataan itu barangkali telah bercerita lebih banyak daripada yang tertulis, sehingga kita yang masih punya seonggok hati bernama nurani, pastilah tergelitik bertanya: “apakah yang lagi terjadi di Tiberias?”
Prahara Tiberias sejatinya adalah cerita lama yang kembali meledak belakangan. Bahkan sejak 2001, Rakyat sudah menemukan keganjilan hukum dalam proses akuisisi atas lahan warga oleh PT Malisya. Sengketa pun bergulir bak bola panas; sebuah kisah peritkaian kelas proletar vis-a-vis kapital membuncah — meski sangat sedikit diberitakan dengan informasi yang adil berimbang.
Sejak mulanya PT Malisya tergiur luasnya lahan yang mau mereka renggut sehingga tidak bisa menahan diri tentu saja. Tapi apakah ada sebersit empati pada korporasi itu? Bahwa akuisisi yang dilakukan bakal berdampak destruktif bagi ribuan warga dari 4 desa termasuk Tiberias?
Banyak yang diam dicekam kengerian. Tapi Tiberias tidak mau tunduk, Tiberias tidak bisa takluk.
Bersama Abner Patras, sekitar 500 kepala keluarga bergerak melawan lewat jalur hukum dan keadilan. Tiberias mau bikin perhitungan. Sebab 1500 mulut dan perut yang harus diberi makan, bukanlah mainan. Karena tidak satu pun yang mau rahim penghidupan serta mata pencaharian mereka dirampok begitu saja.
Proses hukum yang bekerja telah menelan energi yang tidak sedikit. Rakyat memang keletihan. Dan disana, korporasi menemukan secelah kesempatan, menerobos kemungkinan demi kemungkinan. Terlebih mereka (oknum kapital) punya uang, dan dekat dengan kekuasaan.
PT Malisya mendesak pemerintah kabupaten dan pemerintah desa buat membujuk warga supaya sukarela melepas sumber kehidupan mereka. Tidak tanggung-tanggung, terlebih aparatur represif negara seperti kepolisian dirangkul demi memuaskan kepentingan perusahaan. Sehingga di Tiberias, kita akan melihat TNI maupun polisi hilir-mudik di jalanan (yang mungkin membuat kita terkenang ingatin pahit Orde Baru, tatkala institusi keamanan reaksioner kepada perlawanan rakyat jelata).
Tiberias disergap ketegangan: antara hidup segelintir orang dan masyarakat banyak tengah dipertaruhkan. Penduduk miskin mesti menjalani rutinitas dalam kewaspadaan; seakan-akan ketakutan menyelinap di udara dan dapat muncul kapan saja pada waktu-waktu tak terduga.
Dalam sela-sela pertarungan di gelanggang hukum, keganjilan demi keganjilan terjadi. Bangunan, pondok, serta tanaman perkebunan di lahan warga dibongkar dan ada yang terbakar oleh ulah oknum tak dikenal. Yang entah kenapa memiliki kedekatan waktu dengan perintah PT Malisya buat mengosongkan lahan secepatnya.
“Karena, jika hal itu tidak dilakukan, terpaksa perusahaan akan melakukan pembersihan lahan dengan melibatkan aparat keamanan,” ujar Julianus Sarmin, staf PT Malisya, dikutip dari salah satu Media Cetak lokal Bolmong.
Kita tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu. Dasar apakah yang digenggam PT Malisya hingga berani melontarkan ancaman demikian? Sementara, belum ada kekuatan hukum yang mengikat dan melegitimasi rasa percara diri mereka. Yang kita tahu dengan pasti adalah, gertakan itu bukanlah sempalan kosong.
Di kebun warga Tiberias, pondok dan gubuk-gubuk si miskin yang kata Soekarno adalah tempat Tuhan bersemayam, semakin banyak yang terbakar. Laku itu diperbuat aparat keamanan yang dimobilisasi perusahaan. Kacang-kacangan, jagung serta tanaman lain rusak. Warga diusir dari lahan yang memberi mereka makan. Perempuan-perempuan menangis. Anak-anak ketakutan. Mereka tidak punya uang lagi dan kelaparan. Untuk marah sekalipun mereka nyaris tidak punya tenaga. Mereka hanya bisa sembunyi, dari amuk kapital yang kian brutal — kapital yang tak pernah mereka usik sama sekali sebelumnya.
Awal Mei kemarin, konflik itu mencapai titik kulminasi tertinggi. Rakyat yang memberontak atas ketidakadilan yang mereka terima, lalu dibekuk kepolisian. Mereka disekap hanya karena menuntut hak hidup yang hendak direnggut. Kita pun kebingungan, ke mana arah negara berpihak: rakyat kecil tertindas ataukah korporasi yang bergelimang harta?
Soal itu seakan-akan sudah tidak penting lagi. Karena pada pokoknya hanya tentang segregasi: yang salah-benar, baik-buruk serta adil-dzalim cuma bisa ditentukan oleh kekuasaan. Kekuasaan yang acapkali bertentangan dengan nurani dan akal sehat, tapi begitu akrab dengan keserakahan.
Sementara ini, premanisme negara kepada Tiberias masih sepi, segalib angin di malam dingin. Tiberias terasing karena mungkin kurang seksi buat dibicarakan terus-menerus, tidak semenarik berita politik yang bak hiburan sirkus sehari-hari. Barangkali sudah kodratnya problematika kemanusiaan kurang menggugah perasaan tinimbang gosip-gosip politik. Tiberias seakan tidak mau diingat sebagai lambang perlawanan — mungkin karena kita sudah lupa, “apa itu perjuangan?”.
Tapi di Tiberias, masih ada secercah celah di mana harapan tetap punya ruang bertahan. Meski negara menjadi musuh warga, korporasi main serong dengan pemerintah dan nasib tidak lebih dari permainan kekuasaan belaka: Tiberias tidak mau tunduk, Tiberias tidak bisa takluk.
Tiberias seakan mau bersuara, dengan nada yang sama dalam sajak Wiji Thukul itu:
sesungguhnya suara itu bukan perampok, yang ingin merayah hartamu. Ia ingin bicara, mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?
Penulis: Tyo Mokoagow